Jumat, 03 Desember 2010


Pemimpin Berangkat dari Rasa Keibuan


Perempuan kini, banyak yang sudah kehilangan kodratnya, akibat wajah cantik, tubuh molek atau jabatan tinggi, misalnya. Padahal, semua itu pemberian Tuhan untuk sesuatu yang baik. Jadi, hendaknya dijaga baik-baik pula, bukannya malah merendahkan nilai kewanitaannya. Bagaimanapun tiap perempuan kelak akan mengatur rumah tangganya.

Seorang ibu harus mampu mengendalikan keluarganya. Ia harus berangkat dari pondasi ketulusan dan senantiasa menjadi payung bagi keluarga. Seharusnyalah mereka menjaga diri, jangan sampai kodrat yang dimiliki justru menjebaknya. "Sama seperti pisau. Setelah diasah, tajam. Lalu siapa yang akan kita bunuh?" Seperti wanita yang merasa punya kelebihan dengan bahasa tubuhnya, selalu bertanya-tanya siapakah yang akan takluk dengan kecantikan saya nanti?
Hendaknya perempuan dalam melakukan segala hal mesti berangkat dari jiwa.

Setinggi apapun jabatannya, melimpah ruah materinya, perempuan jangan sampai melupakan kodratnya. Muncul boleh, tapi hendaknya memegang teguh prinsipnya sebagai perempuan. Jika perempuan mampu menyempurnakan keluarganya, barulah ia boleh menyempurnakan hal lain di luar dirinya. Perempuan adalah pondasi keluarga. Perempuanlah yang paling mengetahui konsidi keluarga.

Seorang pemimpin hendaknya memimpin berangkat dari rasa keibuan. Rasa keibuan ini bukan monopoli perempuan, tapi bisa dimiliki laki-laki. Keibuan yang dimaksud lebih pada jiwanya, bukan sosoknya. Laki-laki atau perempuan mampu memilikinya jika mereka berangkat dari nurani yang bersih. Prinsipnya, pemimpin itu sama dengan induk ayam, sedangkan rakyat adalah anaknya.

Pemimpin yang berangkat dari jiwa keibuan, kelak harus bisa merentangkan sayap selebar mungkin agar mampu merangkul semua anaknya.
"Jangan terbang sendiri,
sedangkan anaknya terpelanting cerai berai menderita"

Seorang pemimpin harus memiliki rasa ketulusan, kebenaran, dan kejujuran. Seseorang yang muncul dari ketulusan adalah yang mengatasnamakan hati nurani. Tapi, pada saat yang sama akan muncul gejolak dari orang-orang yang tidak dimunculkan. Orang-orang inilah yang nantinya akan mengacaukan percaturan politik.

Kemunculan pemimpin yang tulus dambaan rakyat, akan dikacaukan mereka yang sebenarnya punya tujuan sama tapi tidak mendapatkan kesempatan sama. Ia menyatakan dirinya mewakili orang yang tulus, padahal ia pengacau.

"Hati-hati ia akan muncul, dan menggunting dalam lipatan"

sipa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar